Perang terus berkecamuk, Gemerincing suara pedang, yang beradu membuat suasana pertempuran menjadi bising. Ringkikan kuda dan jerit kematian turut menyemarakan suasana. Sementara itu pasukan muslim yang berjumlah lebih kecil terus maju menerjang pasukan kuffar. Gema takbir dan tahmid terus mengalir dari mulut - mulut para calon syuhada. Mereka sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan maut. "Kam min fi'atin, qoliilah, gholabats fi'atan katsiiroh", terus terngiang di telinga setiap mujahid. Pada kondisi seperti itu hanya ada satu bukti tho'at mereka ; ialah TUGAS!. Tidak ada perhitungan laba rugi, selamat atau binasa, hidup atau mati. Seorang mujahid kala itu cuma mengenal satu harap ; ialah SYAHID.
Saat perang semakin menghebat dan korban mulai berjatuhan, sayup - sayup terdengar suara rintihan mengerang kehausan. "Air....air....air...". Seorang tentara muslim berlari menghampiri dan mendapati seorang anggota pasukannya terluka, wajahnya pucat dan tenaganya hampir tak ada lagi. Terlambat memberikan air berarti kematian menjemputnya. Tanpa membuang waktu Tentara muslim tersebut menyodorkan air ke mulut sang mujahid. Namun, belum sempat air menetes ke mulutnya, dari tempat lain, terdengar pula rintihan kehausan serupa.Tanpa fikir panjang, sang mujahid berkata., " Cepat, berikan air ini padanya ! Saudaraku lebih membutuhkan daripada aku", ucapnya.
Melesatlah tentara muslim menghampiri suara itu. Dan dilihatnya seorang sahabat terengah - engah kehausan, disodorkanlah air tersebut kemulutnya. Tapi belum sempat air sampai ke mulutnya, dari arah yang lain terdengar rintihan serupa. Secepatnya ia kembalikan air dan berkata, " Cepat, berikan air ini padanya ! Dia lebih berhak mendapatkan pertolongan daripada aku".
Sekelebat tentara muslim menghampiri suara itu. Namun taqdir Allah telah menentukan lain. Malaikat maut lebih dulu menjemputnya. Sahabat itu telah gugur sebagai syuhada. Tanpa menunggu lama, ia memutarkan badannya, menemui dua sahabatnya yang juga kehausan. Tapi lagi - lagi taqdir menentukan lain. Pepatahpun jadi terbalik "Untung telah diraih dan malangpun telah ditolak". Beruntunglah sahabat - sahabat ini. Ketentuan Allah telah membawa manfaat. Keduanya telah pergi menemui Sang Khaliq.
Betapa agung dan indahnya sebuah ukhuwah islamiyah yang ditampilkan melalui amaliyah ketiga sahabat tadi. Kepentingan saudaranya lebih utama ketimbang dirinya meskipun dirinya berada dalam puncak kesulitan. Mereka rela menerima kesulitan dan kematian, asalkan saudaranya dapat diselamatkan. Inilah sifat mukmin yang disebut Allah dalam QS. Al Hasyr :9.
Bila fikrah telah menyatu dan hati telah bertaut, jiwa - jiwa suci pun bertemu dengan muara ukhuwah Islamiyaj yang indah dan menakjubkan. Itulah persaudaraan yang berlandaskan aqidah dan prinsip ikhlas. Persaudaraan mana yang mampu merubah hati - hati manusia yang egois hingga memiliki jiwa - jiwa yang rela berkurban selain persaudaraan atas iman?. Mungkinkah persahabatan atas dasar kebangsaan atau kesukuan?! Di luar persaudaraan iman dan Islam adalah nisbi, sempit dan kerdil. Maka ketika kita menyimak peristiwa di Yarmuk tadi, pertanyaan yang harus kita renungi dalam diri kita sendiri sebagai introspeksi adalah sudah sejauh mana kita merealisasikan nilai - nilai ukhuwah Islamiyah di kalangan jama'ah hingga ke batas maksimalnya adalah ikhlas dan rela berkurban sedangkan batas minimalnya adalah husnuldzon terhadap sesama ikhwan...? Inilah yang harus kita renungkan...?! Sungguh, iman tak lebih sekedar pengakuan bila tidak disertai dengan pembuktian...
Alloohu a'lam bishshowab...