Oleh: Ibnu Muchtar
Fenomena yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang mayoritas muslim adalah persoalan pemilu presiden dan anggota legilastalif (calon anggota legislatif). Undang-undang politik yang mengharuskan setiap partai politik mencalonkan calegnya 30 % dari kalangan wanita, menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam. Dapatkah wanita menduduki posisi legislator atau anggota legislatif? Apakah kedudukan legislatif sama dengan eksekutif atau lebih khususnya Presiden?
Para ulama masih bersilang pendapat tentang hal ini. Haram tidaknya wanita menjadi anggota legislatif menurut Islam belum menjadi keputusan bulat. Sebagian memperbolehkan, sedangkan sebagian lainnya mengharamkan. Karena itu, kami akan mencoba menilai ulang argumentasi dari kedua belah pihak dan memilih mana di antara pendapat mereka yang arjah (lebih kuat) untuk diikuti.
Argumentasi Kebolehan
Para ulama yang memperbolehkan wanita menduduki kursi legislatif diwakili oleh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi. Dalam bukunya Min Fiqhid Daulah fil Islam (Fiqih Daulah Dalam Persfektif Al-Quran dan Sunah), beliau menyampaikan argumentasi dari berbagai sudut, yang kami ringkas sebagai berikut:
Pertama, dasar hukum secara umum bahwa wanita sama seperti laki-laki dalam pelaksanaan pembebanan, yaitu tanggung jawab menegakkan masyarakat dan membenahinya yang lazim disebut amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu didasarkan pada firman Allah (Q.s. At-Taubah:71)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
serta sabda Nabi saw.
إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Sesungguhnya kaum wanita itu saudara kandung kaum laki-laki” HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Daud, dan ad-Darimi
Dalil-dalil Alquran dan Sunah itu menyebutkan hukum-hukum secara umum bagi dua jenis, kecuali jika ada tuntutan fitrah yang harus membedakan laki-laki dan wanita, atau yang memang dipersiapkan untuk masing-masing pihak. Seperti kaum wanita mempunyai hukum-hukum tersendiri yang berkaitan dengan haid, nifas, istihadhah, hamil, dan lain-lain. Kaum laki-laki memegang kendali kepemimpinan dan tanggung jawab terhadap rumah tangga, dia berkewajiban memberi nafkah dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Kemudian terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan waris, yang menempatkan laki-laki sama dengan bagian dua wanita.
Kedua, tidak ditemukan satu dalilpun yang mengharamkan masuknya kaum wanita ke dalam Dewan Perwakilan atau legislatif. Sementara hukum dasar dalam segala sesuatu dan urusan keduniaan adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Adapun hadis Al-Bukhari dari Abu Bakrah bahwa Rasul bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Satu kaum tidak beruntung jika mereka mengangkat wanita wanita sebagai pemimpin”
maksudnya adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah (negara). Tapi untuk urusan-urusan tertentu tidak ada salahnya jika wanita tampil sebagai pemimpin, seperti dalam masalah fatwa dan ijtihad, pengajaran, urusan administrasi, direktur yayasan, dan sebagainya.
Latar belakang periwayatan hadis di atas juga menguatkan kekhususan maksudnya tentang kepemimpinan secara umum. Pasalnya Nabi saw. mendengar bahwa sepeninggal pemimpinnya orang-orang Persi mengangkat putri pemimpin itu sebagai penggantinya, lalu beliau bersabda seperti itu.
Ketiga, kedudukan Dewan Perwakilan atau parlemen tidak lebih tinggi daripada kedudukan pemerintah atau dari kepala negara. Karena peranan Dewan Perwakilan dalam sistem demokrasi terpusat adalah melakukan pengawasan dan penetapan undang-undang.
Demikian argumentasi yang dijadikan pijakan oleh para ulama yang memperbolehkan kaum wanita duduk di Dewan Perwakilan atau legislatif.
Argumentasi Keharaman
Para ulama yang mengharamkan wanita menduduki kursi legislatif juga menyampaikan argumentasi dari berbagai sudut, yang kami ringkas sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari segi kedudukannya sebagai hamba Allah, wanita mengemban kewajiban individual sebagaimana halnya laki-laki. Namun dilihat dari segi fungsi dan peranan dalam masyarakat, keduanya dibebankan kewajiban yang berbeda. Seperti dalam riwayat Al-Bazzar, Ibnu Abas menjelaskan
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنَا وَافِدَةُ النِّسَاءِ إِلَيْكَ هذَا الْجِهَادُ كَتَبَهَ اللهُ عَلَى الرِّجَالِ فَاِنْ يُصِيْبُوا أُجِرُوْا وَإِنْ قُتِلُوْا كَانُوْا أَحْيَاءً عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ وَنَحْنُ مَعْشَرُ النِّسَاِء نَقُوْمُ عَلَيْهِمْ فَمَا لَنَا مِنْ ذلِكَ قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ الله أَبْلِغِي مَنْ لَقِيْتَ مِنَ النِّساء أَنَّ طَاعَةَ الزُوَجِ وَاعْتِرَافاً بِحَقِّهِ يَعْدِلُ ذَلِكَ وَقَلِيْلٌ مِنْكُنَّ مَنْ يَفْعَلَهُ - رواه البزار –
“Seorang wanita datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah saw. saya utusan kaum wanita kepada Anda. Jihad itu telah diwajibkan oleh Allah kepada kaum laki-laki. Bila memperoleh kemenangan mereka diberi pahala, bila terbunuh mereka hidup di sisi Allah mendapatkan rezeki. Sedangkan kami kaum wanita membantu mereka, maka apa keutamaan bagi kami dari hal itu’ Kata Ibnu Abas, “Kemudian Rasul bersabda, ‘Sampaikanlah kepada wanita yang kamu temui, sesungguhnya ta’at kepada suami dan memenuhi haknya sebanding dengan itu (jihad), dan sedikit di antara kalian yang melakukannya.”
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ ص غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ... البخاري
"Dari Abi Sa'id Al-Hudriyi, Semoga Alloh. meridoi kepadanya, Ia telah berkata : Para wanita berkata kepada Nabi Saw. telah mengalahkan kami laki-laki terhadapmu, maka tetapkanlah bagi kami satu hari dari dirimu, maka Nabi berjanji kepada mereka,satu hari, Nabi memenuhi mereka pada hari itu menasehati mereka dan mengajari mereka" H.r. Al-Bukhari.
Pada hadis di atas diterangkan bahwa kaum wanita memohon kepada Nabi untuk mendapatkan tambahan kesempatan belajar, karena merasa terkalahkan oleh laki-laki dalam menuntut ilmu kepada Beliau. Yang dituntut oleh kaum wanita adalah persamaan berjihad menuntut ilmu, bukan menuntut peranan seperti laki-laki, yang mengakibatkan dosa bagi wanita itu sendiri.
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa fungsi dan peranan laki-laki dan wanita dalam masyarakat tidak berarti sama rata dalam segala hal.
Kedua, dalam masalah kepemimpinan, laki-laki dan wanita sama-sama dibebani tanggung jawab, namun pada lingkup yang berbeda. Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…
“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita” Q.s. An-Nisa:34.
Ayat ini merupakan dalil utama larangan terhadap pengangkatan wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki. Kata qawwaamuuna dalam susunan ayat diungkapkan dengan sibghah mubalaghah (mengandung makna lebih). Hal ini bertujuan untuk menegaskan bahwa kepemimpinan laki-laki terhadap wanita itu berlaku selamanya, tidak sektoral dan temporal. Selanjutnya, kata ar rijal disini harus diartikan laki-laki secara umum karena konsideran ayat itu seperti terbaca pada lanjutan ayat adalah “karena Allah menciptakan laki-laki memiliki keistimewaan”, yaitu a) berupa kelebihan secara fitri, yaitu anatomi tubuh laki-laki memang sudah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah swt. untuk menyangga tugas-tugas berat, yang serba kompleks pada lingkup yang luas. Sedangkan anatomi tubuh wanita diciptakan untuk mengerjakan tugas-tugas berat namun serba terpusat pada lingkup yang kecil; b) berupa kelebihan secara ‘aqli, yaitu memiliki kekuatan dalam memandang dasar-dasar dan tujuan berbagai perkara (lihat, Tafsir al-Marahgi, juz V, hal. )
Sedangkan penyebutan nafaqah pada lanjutan ayat itu merupakan penyebutan sebagian kecil dari kekuasaan umum laki-laki, dan bukan maksud utama ayat tersebut. Kaidah usul fiqih menyatakan Zikru ba’dhi afradil am la yukhashishuhu (menyebut sebagian satuan-satuan dari yang umum tidak berarti mengkhususkan)
Nabi bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْأَمِيرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ – رواه البخاري –
Kalimat wal maratu ra’yatun ‘ala baiti zaujiha wa waladihi (wanita sebagai pemimpin rumah tangga suami dan anak-anaknya) mengandung pengertian bahwa peran kepemimpinan yang utama bagi wanita adalah merawat, mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya. Di samping berperan membina, mengatur, dan menyelesaikan urusan rumah tangga.
Dengan demikian, tanggung jawab kepemimpinan laki-laki meliputi wilayah yang serba kompleks pada lingkup yang luas, sedangkan wanita serba terpusat pada lingkup yang kecil.
Ketiga, pada surat An-Nisa ayat 59 Allah berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu”
Muhamad Abduh menyatakan, “Yang dimaksud ulil amri adalah golongan ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan muslim. Mereka itu adalah para amir, hakim, ulama, pemimpin militer, dan semua penguasa serta pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik. Apabila mereka sepakat atas satu urusan atau hukum, maka umat wajib menaatinya dengan syarat mereka itu adalah orang Islam dan tidak melanggar perintah Allah dan Sunah Rasul.” (Lihat, Tafsir al-Manar, V:181) Rumusan Muhamad Abduh diikuti pula oleh muridnya Rasyid Ridha dan Musthafa al-Maraghi (Lihat, Tafsir al-Maraghi, juz V, hal. 72)
Bertolak dari pengertian ulil amri ini, maka kalimat wallau ‘amrahum imra-atan pada sabda Nabi di atas tidak terbatas pada kepemimpinan umum sebagai kepala negara, melainkan meliputi kelompok atau pemegang kekuasaan yang berwenang dalam mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan bentuk dan sistem yang dipergunakan masing-masing, baik formal (lembaga) maupun non formal.
Keempat, pada negara-negara yang mempergunakan konsep triaspolitika (hasil rumusan Montesqieu pasca revolusi Perancis), seperti Indonesia, kekuasaan negara tidak dipegang oleh satu kekuasaan saja, tetapi terbagi kepada tiga kekuasaan politik; a) legislative power/kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), b) executive power/kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), c) judicial power/yudicative power/kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili) (Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, 1071; Membentuk Negara Islam, hal. 175)
Berdasarkan konsep ini, kedudukan presiden dan kabinetnya sebanding dengan ketua Dewan Perwakilan dan anggotanya serta Hakim Agung dan jajarannya. Ketiga badan ini merupakan pemegang kepemimpinan sesuai dengan kewenangan dan fungsinya; kesepakatannya menjadi hukum dalam negara yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat.
Dengan demikian, keharaman wanita menjadi anggota legislatif bukan semata-mata keanggotaannya, melainkan tidak lepas dari unsur wallaw amrahum (kekuasaan) terhadap seluruh rakyat, baik laki-laki maupun wanita, dalam bidang undang-undang.
Setelah memperhatikan berbagai argumentasi dari kedua belah pihak, kami cenderung mengikuti pendapat kedua bahwa wanita haram menjadi anggota legislatif karena tidak terlepas dari unsur kepemimpinan terhadap laki-laki.