KH.
Abdullah Gymnastiar
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan luput
dari pendengaran Allah. Tiada satu patah katapun yang diucapkan kecuali pasti
memakan waktu. Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan kecuali dengan sangat
pasti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka, sebaik-baik dan
seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang sangat mampu memperhitungkan
dan memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Sungguh, alangkah sangat
beruntungnya orang yang menahan setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah
sangat beruntungnya orang yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan
menggantinya dengan berdzikir kepada Allah.
Berkata sia-sia membuang
waktu sedangkan berpikir membuka pintu hikmah. Maka, alangkah beruntungnya orang
yang kuasa menahan lisannya dan menggantinya dengan berdzikir. Berkata sia-sia
mengundang bala, berdzikir kepada Allah mengundang rakhmat. Rasulullah SAW
bersabda, "Setiap ucapan Bani Adam itu membahayakan dirinya (tidak memberi
manfaat), kecuali kata-kata berupa amar ma'ruf dan nahi munkar serta berdzikir
kepada Allah azza wa Jalla (HR. Turmudzi).
Setiap manusia diberi modal
oleh Allah dalam mengarungi kehidupan ini. Modalnya adalah waktu, dan
seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang memanfaatkan waktunya untuk
keuntungan dunia dan akhiratnya, sedangkan sebodoh-bodohnya manusia adalah orang
yang menghambur-hamburkan modalnya (waktu) tanpa guna.
Setiap kali kita
berbicara pasti menggunakan modal kita, yaitu waktu. Maka, sebenarnya kemuliaan
dan kehormatan itu dapat dilihat dari apa yang diucapkannya. Allah SWT berfirman
:
"Amat sangat beruntung, bahagia, sukses, orang yang khusu' dalam
sholatnya, dan orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh menahan diri dari
perbuatan dan perkataan sia-sia." (QS Al Mu'minun 23: 1- 3), subhanallah.
Sahabat-sahabat sekalian, salah satu ciri martabat keislaman seseorang
itu bisa dilihat dari bagaimana ia berjuang keras untuk menhindarkan dirinya
dari kesia-siaan. Maka semakin kita larut dalam kesia-siaan maka, akan semakin
tampak keburukan martabat keislaman kita dan semakin akrab dengan bala bencana,
yang selanjutnya hati pun akan keras membatu dan akan lalai dari kebenaran.
Rasulullah sendiri dengan tegas melarang kita banyak bicara yang sia-sia.
"Janganlah kamu sekalian memperbanyak bicara selain berdzikir kepada Allah,
sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan
hari, dan sejauh-jauh manusia adalah yang hatinya keras." (HR. Turmudji)
Kita lihat banyak orang berbicara tapi ternyata tidak mulia dengan
kata-katanya. Banyak orang berkata tanpa bisa menjaga diri, padahal kata-kata
yang terucapkan harus selalu dipertanggung-jawabkan, yang siapa tahu akan
menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum berkata, kita yang menawan kata-kata,
tapi sesudah kata terucapkan kitalah yang ditawan kata-kata kita.
Rasulullah
bersabda : " Barangsiapa memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya. Maka
barangsiapa jatuh dirinya, maka akan banyak dosanya. Barangsiapa banyak dosanya,
maka nerakalah tempatnya". (HR. Abu Hatim).
Dari Sahl bin Sa'ad as
Saidi, dia berkata:
"Barang siapa menjamin bagiku apa yang ada diantara dua
tulang rahangnya (lidah) dan yang ada diantara kedua kakinya (kemaluan), niscaya
akan aku jamin surga baginya."(HR. Bukhari).
Dalam hadits lain
Rasulullah bersabada;
"Barangsiap menjaga dari kejahatan qabqabnya,
dzabdzabnya, dan laglagnya, niscaya ia akan terjaga dari kejahatan
seluruhnya."(HR. Ad Dailami) Yang dimaksud qabqab adalah perut, Dzaabdzab adalah
kemaluan, dan Laqlaq adalah lidah.
Maka tampaknya adalah menjadi wajib
bagi siapapun yang ingin membersihkan hatinya, mengangkat derajatnya dalam
pandangan Allah Ajjaa Wa Jallaa, ingin hidup lebih ringan terhindar dari bala
bencana, untuk bersungguh-sungguh menjaga lisannya. Aktivitas berbicara bukanlah
perkara panjang atau pendeknya, tapi berbicara adalah perkara yang harus
dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.
Ada sebuah kisah, suatu waktu ada
seseorang bertanya tentang suatu tempat yang ternyata tempat tersebut adalah
tempat mangkal "wanita tuna susila". "Dimana sih tempat x ?" Lalu si orang yang
ditanya menunjuk ke arah suatu tempat dan hanya dengan "Tuh !", lalu si penanya
datang ke sana dan naudzubillah dia berbuat maksiat, di pulang, lalu dia
sebarkan lagi kepada teman-temannya, lalu berbondong-bondong orang ke sana,
berganti hari, minggu, dan tahun. Maka setiap ada orang yang bermaksiat di sana,
orang yang menunjukkan itu memikul dosanya, padahal dia hanya berkata : "Tuh !",
cuman tiga huruf. Setiap hari orang berzina di sana, maka pikul tuh dosanya,
karena dia telah memberi jalan bagi orang lain untuk bermaksiat dengan
menunjukkan tempatnya.
Jadi waspada, dengan lidah, menggerakkannya
memang mudah, tidap perlu pakai tenaga besar, tidak perlu pakai biaya mahal,
tapi bencana bisa datang kepada kita. Berbicara itu baik, tapi diam jauh lebih
bermutu. Dan ada yang lebih hebat dari diam, yaitu BERKATA BENAR.
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata
yang baik atau diam !" (HR. Bukhari Muslim).
Sebab lisanlah yang banyak
memasukkan kita ke neraka. Rasulullah bersabda :
"Kebanyakan yang memasukkan
ke neraka adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji (kemaluan)" (HR Turmudji
dan Imam Ahmad). Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak akan berarti agama
seseorang bagi orang yang tidak menjaga lisannya".
: bahwa melanjutkan,
Beliau "Baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat baginya". Untuk dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan bermutu, ada
empat syaratnya, yaitu :
1. Berkatalah dengan Perkataan yang Benar
Kalau kita ingin berbicara dengan benar, maka pastikan bahwa pembicaraan
kita bersih dari bohong, bersih dari dusta. Kata-kata kita ini harus benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jangan pernah mau berkata apapun yang
kita sendiri tidak yakin dengan apa yang kita katakan. Jangan berusaha
berkata-kata semata-mata agar orang terkesima, terpesona, suka, karena semuanya
tidak akan menolong kita. Perkataan kita yakin dengan seyakin-yakinnya haruslah
dapat dipertanggungjawabkan.
Bohong, dusta, sama sekali tidak akan
menolong diri kita ini, karena kedustaan mutlak diketahui oleh Alloh dan sangat
mudah bagi ALlah membeberkan segala kebohongan dan kedustaan kita.
Dusta
tidak akan mengangkat derajat, bahkan sebaliknya kalau Allah membeberkan
kebohongan kita, kedustaan kita, maka, kita akan menjadi orang yang tidak
berharga sedikitpun. Untuk dapat orang percaya pada kita tidak bisa dibeli
dengan uang, tidak bisa dibayar dengan harta, sekali tampak bahwa kita pendusta,
pembohong, tukang tipu, maka akan butuh waktu yang sangat lama untuk
mengembalikan kepercayaan orang pada kita.
Dusta, bohong, hanya membuat
hidup jadi sempit. Camkan, bahwa semakin banyak kita berbohong, semakin sering
kita berdusta, maka kita telah membuat penjara, yang membuat kita selau takut
dusta kita terbuka, bahkan selanjutnya kita akan berusaha untuk membuat dusta
baru, bohong baru untuk menutupi kebohongan yang telah kita lakukan.
Beranilah hidup tampil dengan apa adanya, biarlah kita tampil begini
adanya. Kenapa harus berdusta, lebih baik kita tidak diterima, karena kita sudah
mengatakan apa adanya daripada kita diterima karena mendustainya. Jangan berat
untuk tampil apa adanya. Daripada kita sibuk merekayasa agar rekayasa kata,
sangat pasti tidak akan menolong sedikitpun "yu izzumantasyaa wa tudzillu man
tasya" Yang mengangkat derajat bukan kebohongan, bukan rekayasa kita, tapi Allah
saja, dan sebaliknya yang menghinakan juga Allah.
Cegahlah dusta walau
sekecil apapun, kecuali tentunya bohong yang dibenarkan oleh syariat. Misalnya,
bohong dalam rangka bersiasat kepada musuh, bohong ringan dengan maksud untuk
mendamaikan orang-orang yang bersengketa demi kebaikan. Bohong istri kepada
suami atau sebaliknya dengan maksud untuk menyembunyikan kejelekan, bohong untuk
membahagiakan dengan cara yang sah dan benar, tetapi bukan bohong untuk
menyembunyikan aib dan kesalahan.
Sahabat-sahabat sekalian,
Berpikirlah sebelum berbicara. Jangan pernah biarkan terlontar dari lisan ini
sesuatu yang kita sendiri meragukannya. Apalagi dengan sengaja kita berkata
dusta, naudzubillah. Demi Allah, Allah Maha Mendengar, tahu persis segala nita
di balik kata yang kita ucapkan. Kedustaan kita hanya masalah waktu saja bagi
Allah untuk membeberkannya, walau mati-matian kita menutupinya. Maka, pastikan
setiap pembicaraan kita untuk tidak ada dusta, walau sedikitpun.
Firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada
Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263) Cukuplah
ayat ini sebagai dalil bagi hamba-hamba-Nya untuk selalu menyampaikan kebenaran.
Selalulah mohon kepada Allah agar lisan ini dituntun dan dilindungi
sehingga terhindar dari perkataan yang tidak benar.
2. Berkatalah sesuai
tempatnya
"Liqulli maqaam maqaal walikulli maqaal maqaam" Artinya, "Tiap
perkataan itu ada tempat terbaik dan setiap tempat memiliki perkataan (yang
terucap) yang terbaik pula."
Tidak setiap kata sesuai di setiap tempat,
sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan perkataan yang dibutuhkan.
Hati-hati sebelum kita bicara, harus kita ukur siapa yang diajak bicara.
Berbicara dengan anak kecil tentu akan jauh beda dengan ketika berbicara dengan
orang tua. Berbicara dengan remaja tentu akan jauh beda dengan ketika berbicara
dengan guru kita. Orang yang tidak terampil untuk membaca situasi, walau niatnya
benar, hasilnya bisa jadi kurang benar.
Lihatlah misalnya, ketika kita
berbincang dengan ponakan yang masih kecil, betapa kita akan berusaha
menyesuaikan diri dengan dunianya, gerakan tangan kita, raut muka kita. Hal ini
karena dia tidak akan mengerti kalau kita menggunakan gaya bahasa orang tua.
Tapi tidak mungkin kita memperlakukan guru kita dengan cara yang sama seperti
kala kita berbicara kepada keponakan kita.
Oleh karena itu, niat untuk
berdakwah dengan mengetahui dalil-dalil Quran, memahami dan mengetahui banyak
hadist, belumlah cukup. Sebab kalau kita berbicara tanpa cara yang tepat,
misalnya dengan mengobral dalil, menunjukkan banyaknya hafalan saja, tidaklah
cukup.
Dalam situasi orang berkumpul pasti punya kondisi mental yang
berbeda, ada orang yang sedang gembira, yang tentu saja akan berbeda daya
tangkapnya dengan yang sedang nestapa. Ada orang yang sedang menikmati
kesuksesannya, dan tentu saja akan berbeda dengan orang yang sedang dilanda
masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang sehat berbeda kemampuan
menangkap idenya, dengan orang yang sedang sakit, orang yang sedang segar bugar,
ceria berbeda kemampuan memahaminya dengan orang sudah letih lahir batinnya.
Maka seseorang pembicara terbaik tidak cukup hanya berbica benar, tapi juga
harus sangat bisa memilih situasi kapan dia berbicara.
Mengapa banyak
nasehat orang tua yang tidak didengar oleh anaknya yang masih remaja? Saya
khawatir orang tua merasa benar dengan apa yang dikatakannya, tapi tidak benar
dalam membaca situasi dan kondisi remaja yang sedang diajak bicara, yang
notabene kondisinya sedang labil. Memang aneh kita ini ketika anak masih kecil,
orang tua akan berusaha beraktivitas, bersikap, dan berbicara agar dapat
dipahami oleh si kecil, tetapi menjelang remaja, pada saat perpindahan usia,
perpindahan masa, ia tidak berusaha beradaptasi dengan kondisi anaknya. maka
disinilah kita perlu ilmu. Sebab dengan ilmu yang memadai setiap orang dapat
berwibawa di depan anak-anaknya.
Subhaanallah,
Ada banyak cara dalam
berkomunikasi, dan berbahagialah jikalau kita diberi keterampilan oleh Allah
untuk berbicara sesuai dengan kondisi dan tempatnya. Kita berdialog dengan
petani, tentu saja berbeda dialognya dengan seorang eksekutif. Berada di
lingkungan santri yang fasih bahasa Arab, tentu saja berbeda kalau kita harus
berdialog dengan orang di pasar yang tidak mengerti bahasa Arab. Seorang
pendakwah misalnya, kalau orangnya tidak arif, ia akan sibuk mengobral dalil,
mengobral kata-kata, walau tentu saja tidak semuanya salah, tapi apalah artinya
jika kita meletakkan sesuatu tidak sesuai tempatnya.
Pernah terjadi
suatu ketika Umar bin Khathab bertemu dengan Abu Hurairah, "Mau pergi kemana
engkau, hei Abu Hurairah?" Tanya Umar
"Aku mau ke pasar, akan aku umumkan
apa yang kudengar dari Rasulullah SAW," Jawab Abu Hurairah. "Apa kata Beliau ?",
Umar bertanya lagi "Setiap orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka
dakhalal Jannah, akan masuk Surga". "Tunggu dulu, wahai sahabat", cegah Umar.
Umar bin Khathab pun kemudian pergi menemui Rasulullah. "Yaa Rasulullah, apakah
benar engkau bersabda demikian (sebagaimana yang disampaikan oleh Abu
Hurairah)?" Tanyanya. Dan Rasul pun meng-iya-kan. "Tetapi, Yaa Rasul, saya
keberatan kalau sabdamu itu disebarkan kepada sembarang orang karena dikuatirkan
akan salah dalam menafsirkannya."
Mendengar keberatan Umar itu, Rasul
tercenung, lalu sesaat kemudian bersabda, "Yaa, aku setuju dengan pendapatmu".
Abu Hurairah pun lalu dilarang untuk mengumumkannya di pasar.
Demikianlah, perkataannya benar, sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi,
karena dikuatirkan akan salah penafsiran orang yang mendengarnya, karena
diucapkan tidak pada tempatnya.
3). Jagalah Kehalusan Tutur Kata
Orang
yang lisannya bermutu haruslah berkemampuan memperhalus dan menjaga kata-katanya
tidak menjadi duri atau tidak bagai pisau silet yang siap melukai orang lain.
Betapa banyak kata-kata yang keluar yang rasa-rasanya ketika mengeluarkannya
begitu gampang, begitu enak, tapi yang mendengar malah sebaliknya, hatinya
tercabik-cabik, tersayat-sayat perasaannya, begitu perih dan luka tertancap
dihatinya. Seakan memberi nasehat, tapi bagi yang mendengar apakah merasa
dinasehati atau malah merasa dizhalimi.
Hati-hati, ibu kepada anak,
suami kepada istri, istri kepada suami, guru kepad murid, atasan kepada bawahan.
Kadang kelihatannya seperti sedang memberi nasehat tetapi sesungguhnya kalau
tidak hati-hati dalam memilih kata, justru kita sedang mengumbar duri-duri pisau
'cutter' yang tajam mengiris.
Rasulullah bersabda, "Jiwa seorang mukmin
bukanlah pencela, pengutuk, pembuat perbuatan keji dan berlidah kotor" (HR.
Turmudji dan Ibnu Mas'ud).
Bahkan bagi orang kafir sekalipun, Nabi
melarang mencelanya. Dikisahkan bahwa ketika beberapa orang kafir terbunuh dalam
perang Badar, Nabi bersabda :
"Janganlah kamu memaki mereka, dari apa yang
kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa
kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
Sahabat-sahabat kalau kita
berbuat salah, kita begitu rindu orang lain bersifat bijak kepada kita dengan
memberi maaf. Kala kita tak sengaja memecahkan piring atau melakukan kesalahan
sehingga TV rusak atau kita naik motor agak lalai sehingga menabrak atau masuk
got. Maka apa yang kita inginkan ? Yang kita inginkan dari orang lain adalah dia
dapat bijaksana kepada kita. "Innaalillaahi wa innaailaihi raaji'uun" "Lain kali
lebih hati-hati, jadikan ini pelajaran yang baik, bertaubatlah". Demikian
kata-kata bijak yang kita harapkan. Sebab sangat pasti akan selalu ada
kesempatan kita untuk berbuat kesalahan.
Dikala itu, jika orang
menyikapi dengan baik, kita diberi semangat untuk bertaubat, semangat untuk
mempertanggungjawabkan, kita tidak dicela, kita tidak dipermalukan, maka yang
terjadi adalah semangat kita untuk mempertanggungjawabkannya menjadi lebih
besar.
Bandingkan dengan kalau kita melakukan suatu kesalahan, lalu
orang lain marah kepada kita, "Diam disini, ini perhatikan ! Dasar anak dungu,
tidak hati-hati, begitu sering membuat kesalahan, kemarin ini, sekarang itu. Ini
adalah kelakuan yang sangat menyebalkan, dia pengacau di tempat kita, dia adalah
orang yang paling merugikan". Bayangkan perasaan kita, yang terjadi adalah
merasa dipermalukan, merasa dicabik-cabik, merasa dihantam, merasa diremukkan,
harga diri kita benar-benar diinjak-injak. Saya kira kata-kata itu tidak akan
masuk ke dalam kalbu, kecuali dendam yang akan merasuk.
Diriwayatkan
bahwa suatu waktu, seorang Arab Badwi bertemu Rasulullah SAW, dan Rasulullah
berkata : "Engkau harus bertakwa kepada Allah, Jika seseorang membikin malu
padamu, dengan sesuatu yang diketahuinya padamu, maka janganlah memberi malu dia
dengan sesuatu yang engkau ketahui padanya. Niscaya akan celaka padanya dan
pahalanya padamu. Dan janganlah engkau memaki sesuatu !" (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam Hadist lain Rasulullah SAW bersabda, "Bahwa yang pertama-tama
diberitahukan Tuhan kepadaku dan dilarang aku daripadanya sesudah penyembahan
berhala dan minum khamar, ialah mencaci orang". (HR. Ibu Abi Dunya).
Sungguh kalau kita tidak suka dipermalukan, tidak suka disakiti, tidak
suka direndahkan, mengapa kata-kata kita sering mempermalukan, merendahkan,
menghinakan orang lain? Padahal, sebaik-baiknya kata adalah yang mengoreksi,
yang dapat meraba perasaan diri sendiri dan orang lain kalau misalnya kita
diperlakukan seperti itu. "Duh, dengan kata-kata ini dia terluka atau tidak,
dengan kata-kata ini dia tersakiti atau tidak ?"
Manfaat tidak kalau misalnya
ada yang shaum, lalu ditanya shaum atau tidak, makin kita tanya, "Saudara shaum
atau tidak?" Padahal dia sedang berusaha menyembunyikan amalnya, terpaksa harus
bicara. Kalau menjawab "Ya, Saya Shaum", terbersit peluang untuk riya. Kalau
menjawab, "Tidak", jadi dosa karena berdusta. Kalau diam saja takut disangka
sombong. Maka, kita telah menyusahkan orang gara-gara pertanyaan kita.
Saudara-saudara sekalian, sudahlah jangan banyak tanya yang kira-kira
tidak bermanfaat bahkan menjadi beban bagi yang ditanya. Jangan pernah berkata
yang membuat orang lain jadi susah, kita juga tidak mau disusahkan oleh
perkataan orang lain. Kalau disuruh memilih, mending diajak bicara yang kasar
atau yang halus ? Tentu kita akan memilih berbicara dengan bahasa yang halus.
Firmannya, "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah segolongan laki-laki
menghina segolongan yang lain, boleh jadi (mereka yang dihina itu) lebih baik
dari mereka (yang menghina). Dan janganlah segolongan perempuan (menghina)
golongan perempuan yang lainnya, boleh jadi (yang dihina) lebih baik dari mereka
(yang menghina)." (QS. Al Hujurat 49:11).
Rasulullah juga bersabda,
"Demi Allah Aku tidak suka menceritakan tentang seseorang". (HR. Abu Daud
dan Turmudji). Jangan pula menasehatkan apa yang tidak pernah kita lakukan,
sebab firman-Nya: "Hai, orang-orang yang beriman, mengapa engkau berkata-kata
sesuatu yang tidak engkau perbuat. Sesungguhnya amat besar kemurkaan Allah
terhadap orang yang berkata tapi tidak melakukannya." (QS. Ash Shaff 61: 2-3)
Maka, mulai sekarang, jagalah lisan kita, banyaklah berbuat daripada
berkata, atau banyaklah berkata dengan perbuatan daripada banyak berkata tanpa
ada perbuatan. Kita tidak akan terhormat oleh banyak berbicara sia-sia,
kehormatan kita adalah dengan berkata benar atau diam.
Gelas yang kosong
hanya diisi dengan air, tapi mata air yang melimpah airnya bisa mengisi wadah
apapun. Artinya, orang yang kosong harga dirinya hanya ingin dihargai, tapi
orang yang melimpah harga dirinya akan senang menghargai orang lain.
Pastikan gaya bicara kita jangan merendahkan orang lain, karena diri
kita ingin dihargai, hal itu justru menunjukkan kerendahan diri kita. Karena
mulut itu bagai moncong teko, hanya mengeluarkan isi teko, di dalam kopi keluar
kopi, di dalam teh keluar teh, di dalam bening keluar bening. Maka berbahagialah
bagi yang ucapannya keluar dari mulutnya bagai untaian kalung mutiara, yang
niscaya ia akan merasakan betapa indah dan berkilau indahnya. Kalau pembicaraan
bagai untaian perhiasan harganya, insyaallah hatinya akan berharga pula. Tapi
kalau mulutnya bagai keranjang sampah tumpah, maka hatinya akan tak jauh pula.
Untuk dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan bermutu, ada empat
syaratnya yaitu:
1. Berkatalah dengan perkataan yang benar
2. Berkatalah
sesuai tempatnya
3. Jagalah kehalusan tutur kata
4. Berkatalah yang
bermanfaat
Pastikan setiap kata-kata yang keluar dari mulut kita itu full
manfaat. Rasulullah bersabda, "Diantara tanda kebaikan akhlak manusia muslim
adalah meninggalkan apa yang tidak perlu" (HR. Turmudji).
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa, Nabi SAQ kehilangan Ka'ab bin Ajrah. Lalu beliau tanyakan
kemana Ka'ab sekarang. Mereka menjawab: "Beliau sakit, yaa Rasulullah". Lalu
Nabi keluar berjalan, sehingga sampai pada Ka'ab, Lalu beliau bersabda :
"Gembiralah wahai Ka'ab", Lalu Nabi bertanya : "Siapakah wanita yang bersumpah
ini kepada Allah ?" Ka'ab menjawab : "Ibuku, wahai Rasulullah" Lalu Nabi
menyahut : "Apakah yang diberitahukan kepada engkau wahai Ummu Ka'ab ?" Ibunya
Ka'ab menjawab : "Mungkin Ka'ab berkata perkataan yang tidak perlu atau tidak
berkata yang diperlukan". (HR. Ibnu Abi Dunya)
Maka, satu-satunya
pilihan adalah berkata yang penuh manfaat. Ketika tiba-tiba hujan, "Huuh, hujan
!" Lho, apa untungnya berkata begitu, apa dengan berkata begitu hujannya jadi
berhenti ? Tidak kan...? Hujan adalah pekerjaan Allah, suka-suka Allah mau
ngasih hujan atau tidak, yang pasti setiap perbuatan Allah itu bermanfaat buat
orang beriman. Apa salahnya Allah menurunkan hujan, dulu waktu kemarau panjang
mengeluh, di kasih hujan masih mengeluh juga.
Suatu ketika pernah duduk
dengan seorang ulama yang terpelihara, "Aduh, jam tangan ketinggalan !"
Tiba-tiba saya ingat, bahwa jam saya ketinggalan. "Kenapa pakai aduh ? Lebih
bermanfaat kalau mengucapkan innaalillaahi, lupa nih ketinggalan jam,
mudah-mudahan dapat diambil di waktu yang tepat".
Sahabat-sahabat
sekalian, jangan bunyi kecuali yang bermanfaat. Jangan pula mencela perbuatan
Allah. Panas, dingin, hujan atau kemarau, dengan panas yang membakar sekalipun,
jangan mencela. Atau tiba-tiba petir mengelegar, kenapa menjerit ....?
Bukannya malah menyebut nama Allah. Atau tiba-tiba menginjak bangkai,
"Hiii bangkai anjing sialan !" Kenapa harus mencaci, tidak usah mencela,
beristighfarlah, sebab Allah memberikan kejadian, sangat pasti ada hikmahnya.
4. Berkatalah yang Bermanfaat
Dikisahkan bahwa suatu waktu Nabi Isa,
as, melihat bangkai seekor anjing, ketika sahabat-sahabatnya berpaling karena
jijik, maka Nabi Isa justru melihat susunan gigi putihnya yang tertata indah,
"Anjing itu giginya rapi sekali yaa...!", Teman-temannya keheranan.
"Yaa, Rabbii (Guru), kenapa Paduka berkata begitu, bangkai anjing itu kan sangat
menjijikkan. Bahkan Paduka sendiri kalau dihina, dicaci, diremehkan dengan
kata-kata jelek, kata-kata Tuan selalu baik ?"
Nabi Isa Menjawab:
"Karena setiap orang memang akan mengeluarkan apa yang dimilikinya. Kalau
pikiran dan perasaannya jelek, maka yang keluar adalah yang jelek-jelek juga",
Demikian jawabnya. Makin banyak kepeleset lidah, makin banyak masalah dan
dosanya, makin banyak dosa, nerakalah tempatnya. Maka, "Fal yakul khairan au
liyasmut", "Berkatalah yang benar atau diam", Demikian Sabda Nabi. Jangan
sekali-kali mencela makanan yang sudah tersaji di depan mata. "Huuh, ini mah
terlalu asin !" Kalau nggak suka kasikan kepada makhluk lain yang lebih
membutuhkan. Ada makanan terlalu dingin, yaa hangatkan ! Jangan mengeluh, jangan
mencela. Sebab sudah dikasih makan saja oleh Allah sudah untung.
Mencela
atau mengutuk bukanlah akhlak seorang muslim. Rasulullah bersabda, "Orang Mukmin
itu bukan type pengutuk" (HR. Turmudji). Dalam Hadits lain Nabi SAW bersabda,
"Janganlah Kamu kutuk-mengutuk dengan kutukan ALLAH, dengan kemarahan-NYa, dan
dengan neraka Jahannam". (HR. Abu Dawud dan Turmudji)
Pernah suatu waktu
ketika di tanah suci, ada seorang jemaah haji ikhwan yang suatu waktu ia
mendapat jatah makanannya dingin dan keras. Maka, mengeluhlah dia, "Huuh, susah
di Arab ini, masa nasi aja sebegini keras." Gerutunya tanpa henti. Seseorang
kemudian menasehatinya, "Pak, kalau Bapak semakin mengeluh, mencela, Bapak akan
semakin sengsara, menderita. Karena yang memberi makan adalah ALLAH, ada kalanya
Allah menguji dengan makanan yang enak dan lezat, ada kalanya pula Allah menguji
dengan makanan yang tidak enak atau mungkin dengan makanan yang sudah basi.
Kenapa ketika sekali ini makanan kita tidak enak, lalu kita sibuk mencaci,
mencela, yang tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan justru mengundang murka
Allah "
Padahal di Mekkah lamanya 40 hari, 40 x 3 = 120 kali, dan makan
yang enggak enak ini cuma satu kali, maka tidak adik dia, zhalim dia.
Sahabat-sahabat sekalian berhentilah mencela. Lihat orang berbibir tebal,
sudahlah jangan mencela, toh bibik kita dan bibir dia, ALLAH juga yang
menciptakan. Seseorang yang matanya sipit, tidak berarti kita harus mengatakan
"betapa sempitnya dunia bagi dia". Dia sama sekali tidak memiliki matanya,
Allah-lah yang menciptakannya. Apakah kita akan mencela ciptaan Allah ?
Padahal olok-olok, penghinaan, dan pencelaan akan menyulitkan kita di
akhirat kelak. Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok
manusia itu, dibukakan pintu surga bagi salah seorang dari mereka. Lalu
dikatakan kepadanya, "Mari, marilah!" Lalu orang yang memperolok-olokan itu
datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika ia datang ke pintu surga itu,
lalu pintu surga itu terkunci buat dia. Maka terus menerus seperti yang
demikian, sehingga pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, lalu dikatakan
kepadanya. "Mari, Marilah!", Maka ia tidak datang lagi ke pintu itu". (HR. Ibnu
Abi Dunya).
Maka pastikan, dari mulut kita tidak keluar kata-kata
penghinaan, pencelaan, olok-olok, dan yang sejenisnya. Pokoknya kalau enggak
perlu-perlu amat, jangan bunyi. Wah, kalau begitu nanti dunia ini sepi dong...
Lho bicara itu tidak selalu harus pakai mulut, senyum ramah, duduk dengan
penuh perhatian, santun, ini sudah bicara. Cara menunjuk, cara bersila,
bagaimana kita bersikap terhadap pembicaraan orang lain. Itu semua sudah
merupakan ribuan kata, bahkan jutaan kata.
Ingatlah bahwa syarat
istiqomahnya hati di jalan ALLAH adalah istiqomahnya lisan. Sabda Nabi SAW,
bahwa "Tidak akan istiqomah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan tidak
akan istiqomah hatinya sebelum istiqamah lisannya". (HR. Ahmad) Subhanallah,
maka marilah mulai sekarang kita menjaga dan mengelola lisan kita dengan hanya
digunakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.