Setiap manusia mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan yang bersifat kebendaan. Sedangkan batasan kebutuhan pada dasarnya sangat relatif, karena kebutuhan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya bangsa dan manusia itu sendiri. Untuk itulah muncul berbagai sarana pemuas dan kebutuhan manusia yang terbatas, baik jumlah maupun macamnya.
Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan sarana pemuas yang terbatas tentu saja banyak menimbulkan masalah dalam kehidupannya. Karena kerapkali manusia menghalalkan segala macam cara. Dengan perkataan lain, banyak menginginkan cara yang mudah dengan hasil melimpah, tetapi tidak memperhatikan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Salah satu di antara cara yang dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan itu adalah melalui maysir
Sifat Al-Maisir
Kata ( الميسر) dalam etimologi bahasa Arab adalah kata mashdar mimi dari kata (يسر) seperti kata (الموعد) dari (وعد).
Kata ini digunakan untuk pengertian:
a. Kemudahan, karena mendapatkan harta dengan mudah.
b. Merasa cukup (kecukupan), apabila diambil dari kata (اليسار), karena ia mencukupkan dengan hal itu.
c. Kewajiban. Orang Arab menyatakan: (يسر لي الشيء) apabila wajib.
d. Menyembelih.
Kesimpulannya, kata al-maisir (perjudian) dari sisi bahasa mencakup dua hal:
1. Ia adalah usaha mendapatkan harta tanpa susah payah.
2. Ia adalah cara mendapatkan harta dan sebab menjadi kaya (berkecukupan).
Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan:
Yaitu, semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif). Kalau begitu, al-maisir (perjudian) mencakup semua muamalah yang terjadi dengan ketidakjelasan apakah untung atau buntung. Sehingga, ketentuan dasar al-maisir (perjudian) adalah semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan antara untung dan rugi, yang bersumber dari al-gharar serta spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Perbedaannya dengan perniagaan adalah, dalam perniagaan, pihak transaktor akan mendapatkan barang, sedangkan al-maisir (perjudian) terdapat ketidakjelasan, apakah hartanya hilang dengan pengganti, hilang begitu saja, atau hilang hartanya dan muncul kebencian.
Kalau begitu, setiap muamalah yang berkisar pada ketidakjelasan, apakah untung atau buntung (rugi) dinamakan al-maisir (perjudian). Apabila berbentuk harta, maka dinamakan al-qimar.
Al maisir dalam Al-Quran disebut 3 kali: surat Al-Baqarah : 219, al maidah:90 dan 91.
Al-Baqarah : 219,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya…” (QS. Al Baqarah 2:219)
Al Maidah:90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS al-Maaidah 5:90)
Al Maidah: 91
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Maidah, 5:91)
Sifat Al-Maysir
Muhammad Ali Ashahabuni mengutip sifat al-maisir yang dilakukan pada zaman jahiliyah dar itafsir Al Kasysyaf berikut,
كانت لهم عشرة أقداح ، وهي : الأزلام والأقلام ، والفذ ، والتوأم ، والرقيب ، والحلس ، والنافس ، والمسبل ، والمعلى والمنيح والسفيح ، والوغد . كل واحد منها نصيب معلوم من جزور ينحرونها ويجزؤنها عشرة أجزاء . وقيل : ثمانية وعشرين إلا لثلاثة ، وهي المنيح والسفيح والوغد . للفذ سهم ، وللتوأم سهمان ، وللرقيب ثلاثة ، وللحلس أربعة ، وللنافس خمسة ، وللمسبل ستة؛ وللمعلى سبعة يجعلونها في الربابة وهي خريطة ، ويضعونها على يدي عدل ، ثم يجلجلها ويدخل يده فيخرج باسم رجل رجل قدحا منها . فمن خرج له قدح من ذوات الأنصباء أخذ النصيب المرسوم به ذلك القدح . ومن خرج له قدح مما لا نصيب له لم يأخذ شيئاً وغرم ثمن الجزور كله . وكانوا يدفعون تلك الأنصباء إلى الفقراء ولا يأكلون منها . ويفتخرون بذلك ويذمون من لم يدخل فيه ، ويسمونه البرم
Mereka menyediakan sepuluh wadah semacam gelas atau bejana yang diberi nama (1) Al Fadz, (2) At Tauam, (3) Ar Raqib, (4) Al Hils, (5) An Nafis, (6) Al musbil, (7) Al mu’ala, (8) Al MAnih, (9) As-safih dan (10) Al wagd. Masing-masing memiliki bagian tertentu dari unta yang mereka sembelih kecuali tiga bejana yaitu (8) Al MAnih, (9) As-safih dan (10) Al wagd.
Bagi AlFadz (1 bagian), At Tauam (2 bagian), Ar Raqib (3) bagian, Al hils empat bagian, An Nafs lima bagian, Al musbil enam bagian, dan Al mu’alla tujuh bagian, kemudian semua itu dimasukan kedalam karung dan diserahkan kepada orang yang adil, lalu diundi dan dimasukkan tangannya untuk mengeluarkan nama masing-masing. Siapa yang keluar dengan bejana yang terdapat bagian, maka ia akan mengambil begian tersebut, dan siapa yang mengambil bejana yang tidak ada bagian, maka ia tidak mengambilnya, dan mereka harus membayar unta itu, sedangkan yang mendapat bagian pun tidak boleh makan daging onta itu, karena seluruh daging itu diberikan kepada orang-orang fakir, mereka yang menang berbangga dan sombong, seta mencaci maki orang yang kalah yang tidak mendapat bagian.(Tafsir Al-Kasyaf, I:192-193)
Sifat Al-Maysir lainnya, dijelaskan Ibnu Abbas:
الْمَيْسِرُ الْقِمَارُ كَانَ الرَّجُلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يُخَاطِرُ عَلَى أَهْلِهِ وَمَالِهِ فَأَيُّهُمَا قَمَرَ صَاحِبَهُ ذَهَبَ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ
Dari Ibnu Abbas ia berkata “Al-Maisir itu adalah Al-Qimar, seseorang di zaman jahiliyah mempertaruhkan istrinya dan hartanya, siapa di antara keduanya yang mengalahkan kawannya dia menjadi pemenang, membawa istrinya dan hartanya” HR. Ath-Thabari, Tafsir At-Thabari, II: 371
Dalam kitab tafsir Al-manar terdapat keterangan bahwa beberapa orang iktu pacuan kuda, lalu semua peserta mengeluarkan uang, kemudian ditetapkan menjadi miulik pemenang pada pacuan kuda tersebut. Perbuatan seperti itu adalah qimar atau maisir.
Tetapi apabila pacuan kuda itu tidak mengeluarkan apa-apa, kemudaian khalifah menyediakan uang bagi para pemenang. Hal ini bukanlah maisir atau qimar melainkan persenan yang hukumnya halal.
Qur’ah dalam Al-Quran dan Sunnah
Dalam kamus Al Munawir ( 2002: 1110 ) disebutkan bahwa qur’ah berarti as-sahm ( bagian ) atau an-nashib ( andil, nasib ).
Secara istilah qur’ah adalah
مَا تُلْقِيْهِ لِتَعْيِيْنِ النَّصِيْبِ
Apa yang Anda lemparkan untuk menentukan bagian. (Lihat, Qamus Al Munawir, 2002: 1110)
Kesimpulan: Qur’ah adalah undian untuk menentukan bagian atau andil.
Di dalam Al-Quran, Qur’ah dipadankan dengan kata aqlaam. Al-Quran menyebut hal itu ketika berbicara kisah Maryam, yaitu Ketika Maryam masih kecil, untuk menetapkan siapa yang memeliharanya, mereka mengadakan undian (qur’ah), sehingga Nabi Zakarialah yang berhak memeliharanya. Allah berfirman
ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (hai Muhammad) ; padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak panah mereka untuk mengundi siapa di antara mereka yang akan memeliara Maryam. Dan kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka bersengketa” Q.S Ali-Imran : 44
Hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kepada istri-istrinya ketika beliau hendak bepergian.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
Dari Aisyah, ia berkata “Rasulullah saw apabila hendak bepergian beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu kepada Aisyah dan Hafsah, kemudian keduanya pergi bersama beliau” H.R Muslim, Shahih Muslim, juz 12:195, No. Hadis 4477
Jika diteliti secara cermat, Nabi saw memilih di antara istri beliau untuk dibawa bepergian dengan cara mengundi (qur’ah) tentu cara demikian itu hukumnya halal, karena pada undian semacam itu tidak ada pemindahan hak, dan tidak ada peralihan milik. Adapun pemindahan hak dan milik tidak boleh terjadi kecuali dengan cara yang halal oleh Islam.
Apabila Indian atau taruhan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak dan milik, maka hal itu termasuk maisir atau qimar yakni judi, misalnya harta milik si A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L Dikumpulkan lalu diundi kemudian jatuh undiannya kepada si C, maka harta itu menjadi milik si C penuh. Perbuatan seperti ini jelas qimar dan maisr, yang hukumnya haram.
Hukum Arisan
Menurut kamus Bahasa Indonesia, arisan adalah kegiatan pengumpulan uang atau barang yang bernilai uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menetukan siapa yang memperolehnya, Undian dilakasanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.
Dengan definisi di atas jelaslah bahwa arisan terdiri atas dua kegiatan pokok ; pertama pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama, dan kedua mengundi di antara mereka (yang mengumpulkan uang atau barang tersebut) guna menentukan siapa yang memperolehnya.
Adapun yang berlaku pada arisan cara-caranya dan sifat-sifatnya sama dengan qimar yang ditekankan untuk pemindahan hak dan milik. Padahal menurut Islam, harta milik seseorang baru dapat berpindah menjadi milik orang lain, apabila diperoleh dengan cara yang dibenarkan agama, seperti waris, jual beli, shadaqah, hadiah, upah, pinjaman, ghanimah, atau hibah.
Sedangkan cara pemibdahan hak milik yang berlaku pada arisan tidak termasuk kepada salah satu dari yang tersebut di atas. Peserta arisan tidak merasa meminjam, dan tidak merasa mengambil tabungan, sehingga perpindahannya tidak jelas.
Al Ustadz K.H. E. Abdurrahman menjelaskan bahwa harta yang terkumpul bahwa harta yang terkumpul dari beberapa orang peserta dalam apa yang dinamakan arisan itu adalah harta orang lain, bukan harta milik kita (sebagai salah satu peserta), dan kemuian mengapa ia menjadi milik kita? Tidak lain hanya dengan jalan undian yang jatuh pada kita, maka pemindahan milik dengan sifat semacam maisir, qimar yang hukumnya haram, maka hukum arisan pun tidak berbeda, dan tidak verubah menjadi halal disebabkan suka sama suka, rela sama rela atau karena maksud baik dan banyak faidahnya atau karena bermaksud hendak pindah memindahkan hak milik secara bergiliran dengan merata dengancara mengundi atau alasan-alasan lainnya.
Sumber: Al Qudwah No 16 Tahun 2001