Disalin Dari
AL-FATAWA AL-JAMI'AH LIL MAR'ATIL MUSLIMAH
Penyusun
Amin bin Yahya Al-Wazan
MELAHIRKAN DI BULAN RAMADHAN DAN TIDAK MENGQADHA SETELAH BULAN RAMADHAN
KARENA ADA KEKHAWATIRAN PADA BAYI, KEMUDIAN PADA BULAN RAMADHAN SELANJUTNYA IA MELAHIRKAN
LAGI
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita melahirkan
di bulan Ramadhan dan setelah Ramadhan itu ia tidak mengqadha puasanya karena
kekhawatirannya pada si bayi yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan
melahirkan pada bulan Ramadhan selanjutnya, bolehkan bagi wanita itu untuk
membagikan uang sebagai pengganti puasa .?
Jawaban
Yang wajib bagi wanita ini adalah mengqadha puasanya selama hari-hari puasa
yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan walaupun puasa itu di qadha di hari-hari setelah
Ramadhan yang kedua, hal itu dikarenakan ia tidak mengqadha puasa antara
Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua yang disebabkan adanya suatu alasan atau
udzur. Saya tidak tahu, apakah hal itu akan menyulitkannya atau tidak dalam
mengqadha puasa itu di musim dingin dengan di cicil sehari demi sehari, sebenarnya
jika ia menyusui maka sesungguhnya Allah akan memberi kekuatan padanya hingga
puasa itu tidak mempengaruhi dirinya juga tidak memberi pengaruh kepada air
susunya.
Dan hendaknya wanita itu berusaha semampu mungkin untuk mengqadha puasa
Ramadhan yang telah berlalu sebelum datangnya Ramadhan yang kedua, jika hal itu
tidak bisa ia lakukan maka tidak masalah baginya untuk menunda qadha puasanya
itu hingga setelah Ramadhan kedua. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh
Ibnu Utsaimin, 3/65]
JIKA TIDAK BERPUASA PADA BULAN RAMADHAN
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apa hukumnya bagi wanita hamil dan menyusui
jika ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan .?
Jawaban
Tidak boleh bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada siang
hari Ramadhan kecuali ada udzur (halangan), jika wanita itu tidak berpuasa
karena ada suatu udzur, maka wajib bagi kedua wanita itu untuk mengqadha puasanya
berdasarkan firman Allah tentang orang sakit. "Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada akhir hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 185] Wanita menyusui dan wanita
hamil ini bisa disamakan atau diartikan sebagai orang sakit, akan tetapi jika udzur
kedua wanita itu karena ada rasa khawatir
terhadap bayi atau janin yang dalam perut maka di samping mengqadha
puasa, kedua wanita itu diharuskan memberi makan kepada seorang miskin setiap
harinya berupa makanan pokok, bisa berupa gandum, beras, korma atau lainnya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat: Tidak ada kewajiban bagi kedua wanita itu
kecuali
mengqadha puasa, karena tentang memberi makan orang miskin. tidak ada
dalilnya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, ini adalah madzhab Abu Hanifah
dan merupakan pendapat yang kuat [ Durus
wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, syaikh Ibnu Utsaimin, 3/66]
BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Istri saya belum mengqadha puasanya
selama kurang lebih tiga atau empat kali Ramadhan, ia belum mampu melaksanakan
puasa qadha itu karena hamil atau menyusui, dan kini ia dalam keadaan menyusui.
Istri saya bertanya kepada Anda ; apakah ia bisa mendapat keringanan (rukhsah) dengan
memberi makan kepada orang miskin, sebab ia menemukan kesulitan yang besar
dalam mengqadha puasa sebanyak tiga atau empat kali Ramadhan .?
Jawaban
Tidak ada masalah baginya untuk menunda qadha puasanya yang disebabkan
adanya kesulitan pada dirinya karena hamil atau menyusui, dan kapan ia sanggup
maka hendaklah ia bersegera melaksanakan qadha puasanya, karena ia dikenakan
hukum sebagai orang sakit, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman. "Artinya
: Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain" [Al-Baqarah : 184]
Tidak ada kewajiban memberi makan orang miskin atasnya [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah Lil Ifta, 10/221, fatwa nomor 6608]
BOLEHKAH WANITA HAMIL TIDAK BERPUASA
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah ada rukhsah bagi wanita hamil
di bulan Ramadhan untuk tidak berpuasa, jika rukhsah itu ada baginya, apakah itu
berlaku pada bulan-bulan tertentu saja di masa hamil yang umumnya sembilan
bulan itu, ataukah keringanan itu hanya berlaku pada masa hamil. Jika rukhsah
itu ada baginya, apakah wajib qadha baginya ataukah boleh memberi makan orang
miskin dan berapakah ukuran memberi makan itu ? Kemudian, karena kita tinggal
di daerah yang panas, apakah puasa itu dapat berpengaruh terhadap wanita hamil
.?
Jawaban
Jika seorang wanita hamil khawatir adanya bahaya terhadap dirinya atau
terhadap janinnya jika ia melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, maka hendaknya ia
tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasa itu, baik ia tinggal di
daerah panas ataupun di daerah dingin. Hal itu tidak dibatasi pada umur kehamilan
tertentu, karena ia sama kedudukannya dengan orang sakit, dan Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah berfirman. "Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebayak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 148] [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah Lil Ifta, halaman 222, fatwa nomor 7785 ]
BAGAIMANA HUKUMNYA WANITA HAMIL YANG TIDAK PUASA KARENA KHAWATIR TERHADAP
JANINNYA
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Jika wanita hamil tidak berpuasa karena
khawatir terhadap janinnya, apa yang harus ia lakukan, apakah ada perbedaan
antara kekhawatiran terhadap dirinya dan kekhawatiran terhadap janinnya menurut
Imam Ahmad .?
Jawaban
Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah bahwa, jika seorang
wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, maka ia
harus mengqadha puasanya karena ia tidak berpuasa, dan bagi orang yang
bertanggung jawab pada anaknya harus memberi makan seorang miskin setiap
harinya, karena wanita itu tidak berpuasa untuk kemaslahatan anaknya. Sebagian
ulama berpendapat : Yang wajib bagi wanita hamil itu adalah mengqadha puasanya
saja, baik tidak berpuasanya itu karena khawatir pada dirinya atau khawatir
kepada anaknya atau khawatir kepada keduanya, dan wanita itu dikategorikan
sebagai orang yang sakit, dan tidak ada kewajban bagi wanita tersebut selain itu.
[Durus wa Fatawa al-haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/47]
APAKAH HUKUM PUASA YANG DILAKUKAN OLEH WANITA HAMIL ATAU WANITA MENYUSUI
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang hukum puasa yang dilakukan oleh
wanita hamil dan wanita menyusui .?
Jawaban
Wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang menyusui bila berpuasa
akan rentan terhadap bahaya, berbahaya bagi dirinya atau bagi anaknya, maka
kedua wanita itu boleh tidak berpuasa saat hamil dan saat menyusui. Jika bahaya puasa berakibat pada bayinya
saja maka wanita itu harus mengqadha puasanya serta memberi makan kepada
orang miskin setiap harinya, sedangkan jika bahaya puasa berakibat pada wanita
itu, maka cukup bagi wanta itu mengqadha puasanya saja, hal itu diakarenakan wanita hamil dan menyusui
termasuk dalam keumuman hukum yang terdapat pada firman Allah. "Artinya :
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang msikin" [Al-Baqarah : 184]
[ At-Tanbihat. Syaikh Al-Fauzan, halaman 37]
APAKAH BERBUKA
UNTUK MENOLONG ORANG LAIN BISA DIKIASKAN PADA WANITA HAMIL
Pertanyaan
Syaikh Shalih
Al-Fauzan ditanya : Apakah mungkin mengkiaskan orang yang berbuka karena
menolong orang lain dengan wanita hamil
yang tidak puasa karena khawatir terhadap anaknya, yaitu : diharuskan baginya
untuk mengqadha puasanya serta memberi makan kepada orang miskin .?
Jawaban
Ya, ia boleh
berbuka untuk menolong orang lain dari kebinasaan jika hal itu dibutuhkan,
yakni tidak mungkin baginya untuk menolong itu dari kebinasaan kecuali dengan
berbuka pada saat demikian ia boleh berbuka dan diharuskan mengqadha puasanya.
[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/141]
BILA WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA
DI BULAN RAMADHAN
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Wanita yang sedang hamil atau
menyusui yang khawatir pada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan
Ramadhan, lalu karena itu ia tidak berpuasa, apa yang harus ia lakukan
nantinya. Apakah ia harus mengqadha serta memberi makan pada orang miskin, atau
ia harus mengqadha saja tanpa perlu memberi makan kepada orang miskin, ataukah
cukup baginya untuk memberi makan tanpa perlu mengqadha puasanya ? Manakah yang
benar diantara ketiga hal itu ?
Jawaban
Jika wanita hamil itu khawatir kepada dirinya atau anaknya jika berpuasa di
bulan Ramadhan, maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha
puasanya saja. Statusnya saat itu adalah seperti orang yang tidak kuat untuk
berpuasa atau
takut akan timbulnya bahaya pada dirinya, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [ Al-Baqarah : 185] Begitu
juga halnya wanita yang menyusui, jika ia khawatir pada dirinya bila menyusui
anaknya sambil berpuasa di bulan Ramadhan, atau khawatir pada anaknya jika ia
berpuasa lalu tidak dapat menyusui, maka boleh baginya berbuka, dan wajib
baginya mengqadha saja. [Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi 14, halaman 109-110]
TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN KARENA HAMIL KEMUDIAN BERPUASA SEBULAN PENUH
SEBAGAI PENGGANTINYA DAN BERSEDEKAH PULA
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Saya hamil di bulan Ramadhan maka
saya tidak berpuasa, dan sebagai pengantinya saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah,
kemudian saya hamil kedua kalinya di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa
dan sebagai gantinya saya berpuasa sebulan sehari demi sehari
selama dua bulan dan saya tidak bersedekah, apakah
dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah .?
Jawaban
Jika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpusa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 185]
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin
Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 228 - 232,
penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
SHIFATI SHAUMIN NABIYII SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN
1. Bagi Siapa Fidyah Itu ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya
adalah firman Allah.
"Artinya : Dan orang-orang yang
tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi
makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]
Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya,
sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
2. Penjelasan Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.[Hadits Riwayat Bukhari 8/135]
Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).
"Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak
mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi
makan seorang miskin dan tidak
ada qadha', kemudian dimansukh oleh ayat.
"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]
Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. [Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih]
Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !
3. Yang Benar Ayat Tersebut
(Al-Baqarah : 185) Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a'alaihim menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. [Lihat I'lamul Muwaqi'in 1/35 karya Ibnu
Qayyim dan
Al-Muwafaqat
3/118 karya As-Syatibi]
Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian
yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i terdahulu dengan dalil syar'i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.
4. Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan
Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhu
: "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, barangsiapa
yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang
mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka
dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun
ayat :
"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]
Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah
lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?
Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur'an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.
Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya".
Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu : "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ...." [Al-Baqarah : 183]
Kemudian Allah menurunkan ayat.
"Artinya : Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur'an ...." [Al-Baqarah : 185]
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya ...." [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih]
Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.
Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/288]
5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz
Hanya Ijtihad ?
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur'an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.
[a] Dua hadits ini memiliki hukum
marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an, mengabarkan ayat Al-Qur'an, bahwaturunnya begini, maka
ini adalah hadits musnad, [Lihat Tadribur Rawi 1/192-193
karya Suyuhthi, 'Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu
Shalah]
[b] Ibnu Abbas menetapkan hukum
ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau
mengambil hukum ini ? Tidak diragukan lagi beliau
mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak
sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang
meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.
Dari Malik dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin" [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi'i, sanadnya Shahih]
Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata : "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha". Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha" sanadnya jayyid, dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.
[c] Tidak ada Shahabat yang
menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma. [Sebagaimana
dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/21]
6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur
Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna : "Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi "Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya" dia bayar fidyah tidak mengqadha.
7. Musafir Gugur Puasanya dan
Wajib Mengqadha'
Barangsiapa menyangka gugurnya puasa
wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga
mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena
Al-Qur'an menjelaskan makna gugurnya puasa dari
musafir.
"Artinya : Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 184]
Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang
tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk
mereka.
Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly,
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura,
penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Mudah - mudahan informasi yang kami sampaikan bisa menjadi sumber Informasi Kemasyarakatan yang bermanfaat.
Mudah - mudahan informasi yang kami sampaikan bisa menjadi sumber Informasi Kemasyarakatan yang bermanfaat.