Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari kata Arab waqf yang artinya menahan. Menurut istilah, wakaf berarti
حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِيْ رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرَفٍ مُبَاحٍ مَوْجُوْدٍ
“menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4) disebutkan “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”
Sedangkan Undang-unsang Nomor 41 tentang wakaf Pasal (1) mendefinisikan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu terntentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Harta wakaf tidak boleh diwariskan, tidak boleh hibahkan dan tidak boleh diperjual belikan.
Landasan Hukum Wakaf
Landasan hukum wakaf yang digunakan para ulama terdiri atas dua macam dalil, yaitu dalil umum dan dalil khusus.
(a). Dalil Umum
Yang menjadi dalil umum dari syariat wakaf adalah ayat-ayat Alquran yang memerintahkan agar orang berbuat kebaikan, sebab wakaf termasuk salah satu macam berbuat kebaikan. Demikian pula hadis-hadis tentang shadaqah jariyah, antara lain:
1. Firman Allah swt:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ، وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [3]: 92).
2. Firman Allah swt:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ # الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلاَ أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [2]: 261-262).
3. Hadis Nabi saw.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم، 3084؛ والترمذي، في الأحكام عن رسول الله، في الوقف، 1297؛ والنسائي، 3591؛ وأبو داود، 2494).
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” Hr. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud Oleh Ibnu Hajar, hadis ini ditempatkan pada bab wakaf, karena wakaf termasuk shadaqah jariyah.
(b) Dalil Khusus
Hadis Nabi saw.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا، قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ. قَالَ: فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ، فَقَالَ: غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالاً (رواه البخاري، في الشروط في الوقف: 2532؛ ومسلم، الوصايا، الوقف، 3085؛ والترمذي، في الأحكام عن رسول الله، في الوقف، 1296؛ و النسائي، في الأحباس: 3541)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Umar bin al-Khaththab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi saw. untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi saw. menjawab, “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.” Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan (mewakafkan) tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata, “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)’.” Hr. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i
Keterangan:
Pohon kurma itu bersifat tetap, yakni ada terus dan tidak ditebang. Pohon-pohon itu adalah pokok yang terus dipelihara dan dirawat. Yang dimanfaatkan adalah hasil atau manfaatnya yang diniatkan oleh beliau sebagai sedekah rutin kepada beberapa pihak.
Hadis Nabi saw.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمِائَةَ سَهْمٍ الَّتِي لِي بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَعْجَبَ إِلَيَّ مِنْهَا، قَدْ أَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا؛ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْبِسْ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمَرَتَهَا (رواه النسائي، كتاب في الأحباس، باب حبس المشاع: 3546)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Umar berkata kepada Nabi saw., “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.a.w. berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” Hr. al-Nasa’i
Kata Ibnu Umar:
أَوَّلُ صَدَقَةٍ كَانَتْ فِي الْإِسْلَامِ صَدَقَةُ عُمَرَ
“Shadaqah (wakaf) yang pertama dalam Islam adalah shadaqah Umar” H.r. Ahmad, al-Musnad, X:487
Dari dalil-dalil di atas dapat diketahui bahwa wakaf dapat dikategorikan sebagai Qurbah, yaitu:
مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَطْ أَوْ مَعَ الْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ
“pemberian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah semata atau disertai dengan kebaikan kepada manusia.”
Kedudukannya sama dengan sedekah meski antara sedekah dan wakaf itu sendiri ada perbedaan dalam konteks tasharruf-nya.
Karena wakaf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak boleh diperoleh dari orang kafir, dengan alasan apapun; baik milik individu maupun badan hukum. Sebab, semua perbuatan orang kafir yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dinilai tidak sah karena syaratnya harus muslim. Dalam hal ini, statusnya sama dengan ibadah sehingga wakaf dari orang non-Muslim tersebut hukumnya tidak sah, dan orang Islam haram mengambil hibah tersebut.
Dengan demikian, orang kafir tidak boleh dipungut wakafnya—sama halnya dengan sedekahnya—dalam kondisi apapun, sekalipun sedekah dan wakaf mereka bukan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan untuk salah satu pos aktivitas untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, sedekah dan wakaf itu sendiri, termasuk bantuan untuk mengemban dakwah, pendidikan anak-anak kaum muslim—termasuk yang sejenis—merupakan bentuk aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga secara mutlak tidak boleh diambil dari orang kafir.
Adapun berbagai bantuan yang diberikan dalam konteks hibah (pemberian cuma-cuma) dan hadiah secara syar‘i hukumnya mubah meski pihak pemberi hibah dan hadiahnya adalah orang kafir sekalipun. Nabi saw. sendiri pernah menerima hadiah dari orang kafir. Imam al-Bukhari telah membuat judul bab
بَاب قَبُولِ الْهَدِيَّةِ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَاجَرَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام بِسَارَةَ فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيهَا مَلِكٌ أَوْ جَبَّارٌ فَقَالَ أَعْطُوهَا آجَرَ وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا سُمٌّ وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ